Dalam
ketatanegaraan Indonesia diskresi diatur secara normatif dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
selanjutnya disebut UUAP. Pasal (1) ayat (9) UUAP mengartikan diskresi sebagai
keputusan atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya
stagnasi pemerintahan. Diskresi juga dapat diartikan sebagai salah satu sarana
yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi
negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada
undang-undang, atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian
tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid)
(Ridwan, 2009).
Sesuai
pengertian itu dapat dijelaskan bahwa diskresi merupakan konsep yuridis (legal concept) tentang kekuasaan
pemerintah yang legitimate dimana
badan/pejabat administrasi pemerintah yang menjalankannya berhak untuk
memperoleh perlindungan hukum. Implikasinya, tindakan diskresi baru bermakna
negatif jika ada penyalahgunaan atas diskresi tersebut, dan hal itu yang
seyogianya di permasalahkan. Dapat pula dikatakan diskresi
sangat terkait dengan kewajiban, tugas-tugas dan fungsi pemerintah dalam negara
hukum modern dengan mengupayakan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan
publik (Jetty Mokat, 2019:14),
dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum (Galang Asmara,
2022:14).
Dalam hal kewenangan, Badan/Pejabat Pemerintahan tidak boleh
menolak untuk mengambil keputusan dengan alasan tidak diatur dalam
Undang-Undang, oleh sebab itu pejabat pemerintahan diberi kebebasan untuk memberi
keputusan yang didasarkan pendapatnya sendiri, sepanjang tidak melanggar asas
legalitas dan yuriditas. Bahkan lebih jauh lagi ada pandangan yang beranggapan
bahwa badan/pejabat pemerintah secara melekat (inheren) memiliki kebebasan bertindak residual tanpa adanya
otorisasi undang-undang sekalipun. Pemikiran ini timbul dari asumsi bahwa
pemerintah boleh melakukan tindakan apapun sepanjang tidak melanggar hukum atau
hak-hak individual (Henni Juliani, 2020:335).
Kebebasan
yang diatur secara hukum adalah kebebasan administrasi yang mencakup kebebasan interpretasi
(interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid),
dan kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid). Kebebasan
interpretasi mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki organ pemerintah untuk
menginterpretasikan suatu undang-undang. Kebebasan mempertimbangkan muncul
ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan terhadap
persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ pemerintahan.
Sedangkan kebebasan mengambil kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang
memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya
untuk melakukan inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Akan tetapi kebebasan bertindak yang didasarkan atas diskresi yang dilakukan Badan/Pejabat pemerintahan tersebut tetap dibatasi, agar dapat mencapai tujuan diskresi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut diatur pada pasal 24 UU AP. Sebagaimana ketentuan pada pasal 24 UU AP telah diubah pada pasal 175 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa, Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat, antara lain: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. sesuai dengan AUPB; c. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; d. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan e. dilakukan dengan iktikad baik.
Secara prinsip, diskresi sebagai wewenang pejabat pemerintah dalam menentukan suatu keputusan dan/atau tindakan masih perlu berpegang teguh terhadap tujuan diskresi dan juga AUPB (Indra Widodo, 2021:4). Jadi meskipun diskresi dimaknai sebagai wewenang bebas Badan/Pejabat pemerintah, namun penggunaannya tetap diatur dalam undang-undang agar tidak disalahgunakan dan dapat merugikan masyarakat.
REFERENSI:
Galang Asmara. 2022. Urgensi Kewenangan Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Untuk
Memajukan Kesejahteraan. Jurnal Diskresi. Vo. 1 No. 1 Juni 2022.
Henny Juliani. 2020. Analisis Yuridis Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Jurnal Hukum Universitas Diponegoro. Volume 3 Issue 2 Juni 2020.
Indra Bagus Widodo. 2021. Analisa Hukum Diskresi dalam Surat Keputusan Bersama Tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jetty Erna Hilda Mokat. 2019. Kepemimpinan, Pengambilan Keputusan dan
Diskresi. Jurnal Administro. Vol. 1 No. 1 Tahun 2019 IAN FIS UNIMA.
Lutfil Ansori. 2015. Diskresi Dan Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Yuridis. Vol. 2 No. 1, 01 Juni 2015.
M. Ikbar Andi Endang. 2018. Diskresi Dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum Peratun. Vol. 1 No. 2 Agustus 2018.
Comments
Post a Comment