Konsep Diskresi dalam Penyelenggaraan Negara

 

Photo by Ekaterina Bolovtsova (https://www.pexels.com)

Dalam ketatanegaraan Indonesia diskresi diatur secara normatif dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, selanjutnya disebut UUAP. Pasal (1) ayat (9) UUAP mengartikan diskresi sebagai keputusan atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan. Diskresi juga dapat diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang, atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid) (Ridwan, 2009).

Sesuai pengertian itu dapat dijelaskan bahwa diskresi merupakan konsep yuridis (legal concept) tentang kekuasaan pemerintah yang legitimate dimana badan/pejabat administrasi pemerintah yang menjalankannya berhak untuk memperoleh perlindungan hukum. Implikasinya, tindakan diskresi baru bermakna negatif jika ada penyalahgunaan atas diskresi tersebut, dan hal itu yang seyogianya di permasalahkan. Dapat pula dikatakan diskresi sangat terkait dengan kewajiban, tugas-tugas dan fungsi pemerintah dalam negara hukum modern dengan mengupayakan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik (Jetty Mokat, 2019:14), dan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum (Galang Asmara, 2022:14).

Dalam hal kewenangan, Badan/Pejabat Pemerintahan tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan dengan alasan tidak diatur dalam Undang-Undang, oleh sebab itu pejabat pemerintahan diberi kebebasan untuk memberi keputusan yang didasarkan pendapatnya sendiri, sepanjang tidak melanggar asas legalitas dan yuriditas. Bahkan lebih jauh lagi ada pandangan yang beranggapan bahwa badan/pejabat pemerintah secara melekat (inheren) memiliki kebebasan bertindak residual tanpa adanya otorisasi undang-undang sekalipun. Pemikiran ini timbul dari asumsi bahwa pemerintah boleh melakukan tindakan apapun sepanjang tidak melanggar hukum atau hak-hak individual (Henni Juliani, 2020:335).

Kebebasan yang diatur secara hukum adalah kebebasan administrasi yang mencakup kebebasan interpretasi (interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid). Kebebasan interpretasi mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki organ pemerintah untuk menginterpretasikan suatu undang-undang. Kebebasan mempertimbangkan muncul ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan terhadap persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ pemerintahan. Sedangkan kebebasan mengambil kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.

Akan tetapi kebebasan bertindak yang didasarkan atas diskresi yang dilakukan Badan/Pejabat pemerintahan tersebut tetap dibatasi, agar dapat mencapai tujuan diskresi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut diatur pada pasal 24 UU AP. Sebagaimana ketentuan pada pasal 24 UU AP telah diubah pada pasal 175 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa, Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat, antara lain: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. sesuai dengan AUPB; c. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; d. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan e. dilakukan dengan iktikad baik.

Secara prinsip, diskresi sebagai wewenang pejabat pemerintah dalam menentukan suatu keputusan dan/atau tindakan masih perlu berpegang teguh terhadap tujuan diskresi dan juga AUPB (Indra Widodo, 2021:4). Jadi meskipun diskresi dimaknai sebagai wewenang bebas Badan/Pejabat pemerintah, namun penggunaannya tetap diatur dalam undang-undang agar tidak disalahgunakan dan dapat merugikan masyarakat. 


REFERENSI:

Galang Asmara. 2022. Urgensi Kewenangan Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Untuk Memajukan Kesejahteraan. Jurnal Diskresi. Vo. 1 No. 1 Juni 2022.

Henny Juliani. 2020. Analisis Yuridis Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Jurnal Hukum Universitas Diponegoro. Volume 3 Issue 2 Juni 2020.

Indra Bagus Widodo. 2021. Analisa Hukum Diskresi dalam Surat Keputusan Bersama Tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Jetty Erna Hilda Mokat. 2019. Kepemimpinan, Pengambilan Keputusan dan Diskresi. Jurnal Administro. Vol. 1 No. 1 Tahun 2019 IAN FIS UNIMA.

Lutfil Ansori. 2015. Diskresi Dan Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Yuridis. Vol. 2 No. 1, 01 Juni 2015.

M. Ikbar Andi Endang. 2018. Diskresi Dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum Peratun. Vol. 1 No. 2 Agustus 2018.

Comments