Pengujian Keputusan Diskresi di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

 

Photo by Karolina Grabowska (https://www.pexels.com/)

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik pusat maupun daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lingkup kewenangan (intra vires) Pengadilan Tata Usaha Negara saat ini hanya terbatas pada pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha Negaa (beschikking), sedangkan tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah (Onrechmatige overheidsdaad) belum menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

Dalam perkembangannya, Pasal (21) ayat (1-6) UUAP memperluas kewenangan absolut PTUN sehingga ada tambahan kewenangan untuk menguji perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan badan atau pejabat pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial, maka semakin lengkap fungsi PTUN sebagai fungsi kontrol yuridis terhadap pemerintah (Lutfil Anshori, 2015:138). Fungsi kontrol yuridis maksudnya PTUN dapat membatalkan atau menyatakan tidak sah serta menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara sebagai wujud asas presumptio justae causa, yaitu asas yang menyatakan bahwa setiap keputusan Badan/Pejabat TUN dianggap sah sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sebaliknya (I Gusti Hadi, 2017:12).

Pengadilan Tata Usaha Negara yang diamanatkan oleh pasal 1 angka 10 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, pasal 1 angka 18 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintah dan atau Badan Hukum lainnya yang menggunakan diskresi dapat diuji melalui gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

Pengujian keputusan diskresi akan diketahui melalui Putusan-putusan pengadilan khususnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagai dasar untuk melakukan pengujian terhadap tindakan diskresi, Pengadilan Tata Usaha Negara yang diamanatkan oleh Pasal 87 huruf (a) UUAP menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual.

Menurut Indroharto (2005:165), pengujian suatu keputusan yang dipersoalkan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) hal yaitu Pertama, Pengujian yang lengkap artinya keputusan yang bersangkutan itu diuji, baik mengenai segi kebijaksanaan yang ditempuh maupun mengenai hukum yang diterapkan. Yang diuji adalah ketetapan kebijaksanaan yang ditempuh apakah sudah efektif dan efisien atau tidak, apakah penerapan hukumnya sudah tepat atau tidak. Kedua, Pengujian yang hanya semata-mata dari segi hukum yang diterapkan pada keputusan yang dikeluarkan. Pengujian seperti itu dilakukan oleh Peradilan yang bebas (hakim) pada umumnya (Rahmad Tobrani, 2018:76).

Berkaitan dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan diskresi kepada pejabat atasan sebagaimana yang telah diatur dalam UUAP di atas, maka pengujian yang bersifat lengkap tidak hanya berkaitan dengan upaya administrasi yang diajukan oleh para pihak yang berkepentingan, akan tetapi merupakan kewajiban bagi atasan pejabat yang melakukan tindakan diskresi untuk menguji tindakan diskresi yang dilakukan oleh bawahannya secara lengkap.

Beberapa keputusan diskresi dalam praktik seringkali didalilkan oleh tergugat sebagai keputusan yang diterbitkan dalam keadaan mendesak dan untuk kepentingan umum, baik yang disebut didalam keputusan objectum litis, maupun didalilkan di dalam jawaban Tergugat pada saat erjadi gugatan. Dalam hal ini, majelis hakim perlu memeriksa dan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan untuk menentukan apakah benar keputusan diterbitkan dalam keadaan mendesak dan untuk kepentingan umum atau tidak.

Apabila terbukti bahwa keputusan yang digugat diterbitkan bukan dalam keadaan mendesak dan bukan untuk kepentingan umum, maka menurut hukum sudah sepatutnya gugatan tersebut dikabulkan dan objek gugatan dinyatakan batal. Sebaliknya, apabila berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak di pengadilan ternyata keputusan yang digugat memang benar diterbitkan dalam keadaan mendesak  dan demi kepentingan umum, maka sudah seharusnya pula menrut hukum gugutan tersebut dinyatakan ditolak.

Sebagai contoh, dari hasil penelusuran penulis melalui website resmi Putusan mahkamah Agung (putusan3mahkamahagung.go.id, diakses 27 Juni 2022), menyatakan bahwa Putusan PTUN JAMBI Nomor 2/P/PW/2017/PTUN.JBI Tanggal 4 Januari 2018 dengan Pemohon bernama Ir. Sarjono terkait kebijaksanaan (diskresi) dengan membuat perpanjangan waktu pekerjaan. Menyatakan bahwa:


Mengabulkan Permohonan Pemohon Seluruhnya; Menyatakan Kebijakan (diskresi) Pemohon yang memperpanjang waktu kontrak dengan membuat Addendum I Surat Perjanjian atas Tambahan Waktu Kontrak untuk Melaksanakan Paket Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Embung di Desa Sungai Abang, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo Nomor : 521/263/SP/IV/DPT/2015, tanggal 21 Deember 2015 dan cara pembayarannya tidak ada unsur Penyalahgunaan Wewenang; Menyatakan Kebijakan (diskresi) Pemohon yang membuat Nota Dinas Nomor : 521.21/247/IV/DPTP/2016, tanggal 16 Mei 2016, perihal Permohonan Pemeriksaan Pembangunan Embung di Desa Sungai Abang Tahun Anggaran 2015 dan tindak lanjutnya tidak ada unsur Penyalahgunaan Wewenang.

 Pemohon selaku Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan selaku Pejabat Pembuat Kebijakan telah melakukan suatu kebijaksanaan (diskresi) dengan membuat perpanjangan waktu pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Addendum atas Tambahan waktu kontrak dengan CV. Persada Antar Nusa agar pekerjaan konstruksi embung ini bisa selesai dikerjakan seluruhnya tepat waktu sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat yang pada kenyataannya masyarakat dapat memanfaatkan embung ini untuk mengairi sawahnya. Secara hukum menyebutkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagaimana dinyatakan oleh keterangan ahli dalam putusan tersebut. Setiap penggunaan diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, sebagaimana tujuan diskresi dalam hukum yang berlaku.

Pengujian pada Putusan Pengadilan TUN Makassar (Putusan PTUN MAKASSAR Nomor 81/G/2020/PTUN.Mks) terkait Keputusan Bupati Bulukumba Nomor: 188.45294 Tahun 2020 Tentang Penetapan Tindakan Diskresi Terhadap Hasil Pemilihan Kepala Desa.

Pada putusan itu perlu diperhatikan bahwa apakah tindakan diskresi Tergugat dengan mengeluarkan Keputusan Nomor: 188.45294 Tahun 2020 dapat dibenarkan secara hukum, apakah telah memenuhi syarat sesuai dengan tujuan diskresi, yakni tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan, sesuai dengan AUPB, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik. Berdasarkan bukti-bukti persidangan, majelis hakim memutuskan bahwa Keputusan diskresi yang dikeluarkan oleh Tergugat telah memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas; sesuai dengan AUPB, Asas Kepastian Hukum, dan Asas Kecermatan sebagai asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Selain itu, tindakan diskresi Tergugat telah didasarkan pada alasan-alasan yang objektif, tindakan dilakukan untuk menyelesaikan konflik dan tidak menimbulkan konflik kepentingan, telah dilakukan dengan itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Telah sesuai pula dengan tujuan penggunaan diskresi itu sendiri.

Dalam hal tergugat adalah Badan/Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Maka, yang perlu diperhatikan adalah kewenangan tergugat untuk menerbitkan keputusan lahir karena wewenang yang melekat padanya atau wewenang yang dilimpahkan padanya. Hal itu untuk menunjukkan bahwa kewenangan untuk menerbitkan keputusan yang ada pada Badan/Pejabat Pemerintahan dapat diperoleh melalui dua cara yaitu kewenangan atribusi atau kewenangan delegasi (Eril Yulikhsan, 2016:63). Kewenangan atribusi adalah kewenangan pemerintah yang diperoleh secara langsung dari peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan delegasi berarti kewenangan Badan/Pejabat Pemerintahan yang diperoleh dari pendelegasian Badan atau Pejabat administrasi pemerintahan lainnya.

Tergugat adalah selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya sebagaimana dijelaskan dalam doktrin dan peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam hal terjadi keadaan yang mendesak, maka ketentuan tersebut dapat disimpangi dengan memperhatikan asas kemanfaatan (doelmatigheid) (Permana, 2009: 92). Akan tetapi sebaliknya terhadap doktrin yang menyatakan bahwa keputusan terikat (gebonden beschikking) pengujiannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal terdapat keadaan yang mendesak maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan asalkan tetap memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Ikbar Endang, 2018:223).

   Apabila berdasarkan Pengujian Pengadilan Tata Usaha Negara, Badan/Pejabat Pemerintahan terbukti tidak memiliki kewenangan baik dari segi cara memperoleh kewenangan ataupun dari segi lingkup kompetensi suatu jabatan, maka Putusan PTUN akan menyatakan Keputusan yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan tidak sah atau batal demi hukum.

Namun, dalam praktiknya keputusan Pejabat Pemerintahan yang seharusnya batal demi hukum seringkali berlaku secara efektif yang merugikan orang atau Badan hukum perdata. Padahal menurut hukum administrasi negara, seharusnya keputusan yang batal demi hukum dianggap tidak pernah ada dan tidak perlu diajukan suatu gugatan dalam arti dapat diabaikan saja. Oleh karena keputusan berlaku efektif merugikan orang atau badan hukum perdata, maka PTUN secara normatif telah diberi kewenangan untuk menyatakan keputusan yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.

Selanjutnya, apabila berdasarkan Pengujian PTUN, Badan/Pejabat Pemerintahan terbukti memiliki kewenangan baik dari segi cara memperoleh kewenangan yaitu atribusi atau delegasi ataupun dari segi lingkup kompetensi suatu jabatan yaitu berdasarkan materi, waktu, dan tempat, maka keputusan Badan/Pejabat Pemerintahan masih harus diuji lagi dari segi substansi dan dari segi prosedur. Dua kriteria substansi dan prosedur dapat digunakan oleh penggugat sebagai alasan gugatan. Sebaliknya, bagi tergugat (Badan/Pejabat Pemerintahan) digunakan sebagai acuan/dasar di dalam menerbitkan suatu keputusan, sedangkan bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan dasar pengujian terhadap keabsahan dan legalitas suatu keputusan tata usaha negara yang digugat.

Pelanggaran terhadap salah satu dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) baik substansial maupun yang bersifat prosedural sudah cukup untuk membatalkan suatu keputusan tata usaha negara yang digugat, maka kedua kriteria tersebut tidak boleh dilanggar sama sekali oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.


REFERENSI:

Ari Wirya Dinata. 2021. Implikasi Hukum Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Ditinjau Dari Pelaksanaan Otonomi Daerah Dan Negara Kesatuan. Jurnal Hukum Peratun. Vol. 4 No. 1 Februari 2021.

Bayu Dwi Anggono, Nando Yussele Mardika. 2021. Konsistensi Bentuk Dan Materi Muatan Surat Edaran Sebagai Produk Hukum Dalam Penanganan Covid-19. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 50 No. 4 Agustus 2021.

Bherly Adhitya Rorong. 2020. Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat Publik Dalam Melakukan Diskresi Dikaji Menurut Uu No. 30 Tahun 2014. Jurnal Hukum Administrasi. Vol.VIII No. 1 Maret 2020.

Galang Asmara. 2022. Urgensi Kewenangan Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Untuk Memajukan Kesejahteraan. Jurnal Diskresi. Vo. 1 No. 1 Juni 2022.

Henny Juliani. 2020. Analisis Yuridis Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Jurnal Hukum Universitas Diponegoro. Volume 3 Issue 2 Juni 2020.

I Gusti Ayu Hapsari Hadi. 2017. Pertanggungjawaban Pejabat Pemerintahan terhadap Diskresi Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintaha. Jurnal Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 39 No. 1 April 2020.

Indra Bagus Widodo. 2021. Analisa Hukum Diskresi dalam Surat Keputusan Bersama Tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Jetty Erna Hilda Mokat. 2019. Kepemimpinan, Pengambilan Keputusan dan Diskresi. Jurnal Administro. Vol. 1 No. 1 Tahun 2019 IAN FIS UNIMA.

Lutfil Ansori. 2015. Diskresi Dan Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Yuridis. Vol. 2 No. 1, 01 Juni 2015.

M. Ikbar Andi Endang. 2018. Diskresi Dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum Peratun. Vol. 1 No. 2 Agustus 2018.

 

Comments