Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik pusat maupun daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Lingkup kewenangan (intra
vires) Pengadilan Tata Usaha Negara saat ini hanya terbatas pada pengujian
terhadap Keputusan Tata Usaha Negaa (beschikking),
sedangkan tindakan faktual (feitelijk
handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah (Onrechmatige overheidsdaad) belum menjadi
kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dalam
perkembangannya, Pasal (21) ayat (1-6) UUAP memperluas kewenangan absolut PTUN
sehingga ada tambahan kewenangan untuk menguji perkara-perkara yang berkaitan
dengan tindakan badan atau pejabat pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya
yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial, maka semakin lengkap
fungsi PTUN sebagai fungsi kontrol yuridis terhadap pemerintah (Lutfil Anshori,
2015:138). Fungsi kontrol yuridis maksudnya PTUN dapat membatalkan atau
menyatakan tidak sah serta menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara
sebagai wujud asas presumptio justae
causa, yaitu asas yang menyatakan bahwa setiap keputusan Badan/Pejabat TUN
dianggap sah sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan sebaliknya (I Gusti Hadi, 2017:12).
Pengadilan
Tata Usaha Negara yang diamanatkan oleh pasal 1 angka 10 Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara, pasal 1 angka 18 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor
30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan keputusan
dan/atau tindakan Pejabat Pemerintah dan atau Badan Hukum lainnya yang
menggunakan diskresi dapat diuji melalui gugatan di Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pengujian
keputusan diskresi akan diketahui melalui Putusan-putusan pengadilan khususnya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagai dasar
untuk melakukan pengujian terhadap tindakan diskresi, Pengadilan Tata Usaha
Negara yang diamanatkan oleh Pasal 87 huruf (a) UUAP menyatakan bahwa dengan berlakunya
Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 harus dimaknai sebagai penetapan tertulis yang mencakup tindakan
faktual.
Menurut
Indroharto (2005:165), pengujian suatu keputusan yang dipersoalkan dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) hal yaitu Pertama,
Pengujian yang lengkap artinya keputusan yang bersangkutan itu diuji, baik
mengenai segi kebijaksanaan yang ditempuh maupun mengenai hukum yang
diterapkan. Yang diuji adalah ketetapan kebijaksanaan yang ditempuh apakah
sudah efektif dan efisien atau tidak, apakah penerapan hukumnya sudah tepat
atau tidak. Kedua, Pengujian yang
hanya semata-mata dari segi hukum yang diterapkan pada keputusan yang
dikeluarkan. Pengujian seperti itu dilakukan oleh Peradilan yang bebas (hakim)
pada umumnya (Rahmad Tobrani, 2018:76).
Berkaitan
dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan diskresi kepada
pejabat atasan sebagaimana yang telah diatur dalam UUAP di atas, maka pengujian
yang bersifat lengkap tidak hanya berkaitan dengan upaya administrasi yang
diajukan oleh para pihak yang berkepentingan, akan tetapi merupakan kewajiban
bagi atasan pejabat yang melakukan tindakan diskresi untuk menguji tindakan
diskresi yang dilakukan oleh bawahannya secara lengkap.
Beberapa
keputusan diskresi dalam praktik seringkali didalilkan oleh tergugat sebagai
keputusan yang diterbitkan dalam keadaan mendesak dan untuk kepentingan umum,
baik yang disebut didalam keputusan objectum
litis, maupun didalilkan di dalam jawaban Tergugat pada saat erjadi
gugatan. Dalam hal ini, majelis hakim perlu memeriksa dan mempertimbangkan
bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan untuk menentukan apakah
benar keputusan diterbitkan dalam keadaan mendesak dan untuk kepentingan umum
atau tidak.
Apabila
terbukti bahwa keputusan yang digugat diterbitkan bukan dalam keadaan mendesak
dan bukan untuk kepentingan umum, maka menurut hukum sudah sepatutnya gugatan
tersebut dikabulkan dan objek gugatan dinyatakan batal. Sebaliknya, apabila
berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak di pengadilan ternyata
keputusan yang digugat memang benar diterbitkan dalam keadaan mendesak dan demi kepentingan umum, maka sudah
seharusnya pula menrut hukum gugutan tersebut dinyatakan ditolak.
Sebagai
contoh, dari hasil penelusuran penulis melalui website resmi Putusan mahkamah
Agung (putusan3mahkamahagung.go.id, diakses 27 Juni 2022), menyatakan bahwa Putusan PTUN JAMBI Nomor
2/P/PW/2017/PTUN.JBI Tanggal 4 Januari 2018 dengan Pemohon bernama Ir. Sarjono
terkait kebijaksanaan
(diskresi) dengan membuat perpanjangan waktu pekerjaan. Menyatakan bahwa:
Mengabulkan Permohonan Pemohon
Seluruhnya; Menyatakan Kebijakan (diskresi) Pemohon yang memperpanjang waktu
kontrak dengan membuat Addendum I Surat Perjanjian atas Tambahan Waktu Kontrak
untuk Melaksanakan Paket Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Embung di Desa Sungai
Abang, Kecamatan VII Koto, Kabupaten Tebo Nomor : 521/263/SP/IV/DPT/2015,
tanggal 21 Deember 2015 dan cara pembayarannya tidak ada unsur Penyalahgunaan
Wewenang; Menyatakan Kebijakan (diskresi) Pemohon yang membuat Nota Dinas Nomor
: 521.21/247/IV/DPTP/2016, tanggal 16 Mei 2016, perihal Permohonan Pemeriksaan
Pembangunan Embung di Desa Sungai Abang Tahun Anggaran 2015 dan tindak
lanjutnya tidak ada unsur Penyalahgunaan Wewenang.
Pengujian
pada Putusan Pengadilan TUN Makassar (Putusan PTUN MAKASSAR
Nomor 81/G/2020/PTUN.Mks) terkait Keputusan
Bupati Bulukumba Nomor: 188.45294 Tahun 2020 Tentang Penetapan
Tindakan Diskresi Terhadap Hasil Pemilihan Kepala Desa.
Pada putusan
itu perlu diperhatikan bahwa apakah tindakan diskresi Tergugat dengan
mengeluarkan Keputusan Nomor: 188.45294 Tahun 2020 dapat dibenarkan secara hukum,
apakah telah memenuhi syarat sesuai dengan tujuan diskresi, yakni tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan, sesuai dengan AUPB, berdasarkan
alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan
dengan iktikad baik. Berdasarkan bukti-bukti persidangan, majelis hakim
memutuskan bahwa Keputusan diskresi yang dikeluarkan oleh Tergugat telah
memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas; sesuai dengan AUPB, Asas
Kepastian Hukum, dan Asas Kecermatan sebagai asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu,
tindakan diskresi Tergugat telah didasarkan pada alasan-alasan yang objektif,
tindakan dilakukan untuk menyelesaikan konflik dan tidak menimbulkan konflik kepentingan,
telah dilakukan dengan itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Telah
sesuai pula dengan tujuan penggunaan diskresi itu sendiri.
Dalam
hal tergugat adalah Badan/Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Maka, yang perlu diperhatikan
adalah kewenangan tergugat untuk menerbitkan keputusan lahir karena wewenang
yang melekat padanya atau wewenang yang dilimpahkan padanya. Hal itu untuk
menunjukkan bahwa kewenangan untuk menerbitkan keputusan yang ada pada
Badan/Pejabat Pemerintahan dapat diperoleh melalui dua cara yaitu kewenangan
atribusi atau kewenangan delegasi (Eril Yulikhsan, 2016:63). Kewenangan
atribusi adalah kewenangan pemerintah yang diperoleh secara langsung dari
peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan delegasi berarti kewenangan
Badan/Pejabat Pemerintahan yang diperoleh dari pendelegasian Badan atau Pejabat
administrasi pemerintahan lainnya.
Tergugat
adalah selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya
sebagaimana dijelaskan dalam doktrin dan peraturan perundang-undangan. Meskipun
dalam hal terjadi keadaan yang mendesak, maka ketentuan tersebut dapat
disimpangi dengan memperhatikan asas kemanfaatan (doelmatigheid) (Permana, 2009: 92). Akan tetapi sebaliknya terhadap
doktrin yang menyatakan bahwa keputusan terikat (gebonden beschikking) pengujiannya oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dalam hal terdapat keadaan yang mendesak maka peraturan perundang-undangan
dapat dikesampingkan asalkan tetap memperhatikan asas-asas umum pemerintahan
yang baik (Ikbar Endang, 2018:223).
Apabila berdasarkan Pengujian Pengadilan Tata
Usaha Negara, Badan/Pejabat Pemerintahan terbukti tidak memiliki kewenangan
baik dari segi cara memperoleh kewenangan ataupun dari segi lingkup kompetensi
suatu jabatan, maka Putusan PTUN akan menyatakan Keputusan yang diterbitkan
oleh Badan/Pejabat Pemerintahan tidak sah atau batal demi hukum.
Namun, dalam
praktiknya keputusan Pejabat Pemerintahan yang seharusnya batal demi hukum
seringkali berlaku secara efektif yang merugikan orang atau Badan hukum
perdata. Padahal menurut hukum administrasi negara, seharusnya keputusan yang
batal demi hukum dianggap tidak pernah ada dan tidak perlu diajukan suatu gugatan
dalam arti dapat diabaikan saja. Oleh karena keputusan berlaku efektif
merugikan orang atau badan hukum perdata, maka PTUN secara normatif telah
diberi kewenangan untuk menyatakan keputusan yang digugat itu dinyatakan batal
atau tidak sah.
Selanjutnya, apabila
berdasarkan Pengujian PTUN, Badan/Pejabat Pemerintahan terbukti memiliki
kewenangan baik dari segi cara memperoleh kewenangan yaitu atribusi atau
delegasi ataupun dari segi lingkup kompetensi suatu jabatan yaitu berdasarkan
materi, waktu, dan tempat, maka keputusan Badan/Pejabat Pemerintahan masih
harus diuji lagi dari segi substansi dan dari segi prosedur. Dua kriteria
substansi dan prosedur dapat digunakan oleh penggugat sebagai alasan gugatan.
Sebaliknya, bagi tergugat (Badan/Pejabat Pemerintahan) digunakan sebagai
acuan/dasar di dalam menerbitkan suatu keputusan, sedangkan bagi Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan dasar pengujian terhadap keabsahan dan
legalitas suatu keputusan tata usaha negara yang digugat.
Pelanggaran
terhadap salah satu dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) baik substansial maupun yang
bersifat prosedural sudah cukup untuk membatalkan suatu keputusan tata usaha
negara yang digugat, maka kedua kriteria tersebut tidak boleh dilanggar sama
sekali oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.
REFERENSI:
Ari Wirya Dinata. 2021. Implikasi Hukum Ketidakpatuhan Terhadap
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Ditinjau Dari Pelaksanaan Otonomi
Daerah Dan Negara Kesatuan. Jurnal Hukum Peratun. Vol. 4 No. 1
Februari 2021.
Bayu Dwi Anggono, Nando Yussele Mardika. 2021. Konsistensi Bentuk
Dan Materi Muatan Surat Edaran Sebagai Produk Hukum Dalam Penanganan Covid-19.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 50 No. 4 Agustus 2021.
Bherly Adhitya Rorong. 2020. Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat
Publik Dalam Melakukan Diskresi Dikaji Menurut Uu No. 30 Tahun 2014. Jurnal
Hukum Administrasi. Vol.VIII No. 1 Maret 2020.
Galang Asmara. 2022. Urgensi Kewenangan Diskresi Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Untuk Memajukan Kesejahteraan. Jurnal
Diskresi. Vo. 1 No. 1 Juni 2022.
Henny Juliani. 2020. Analisis Yuridis Kebijakan Keuangan Negara
dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Jurnal Hukum Universitas Diponegoro.
Volume 3 Issue 2 Juni 2020.
I Gusti Ayu Hapsari Hadi. 2017. Pertanggungjawaban Pejabat
Pemerintahan terhadap Diskresi Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintaha. Jurnal Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 39 No. 1 April 2020.
Indra Bagus Widodo. 2021. Analisa Hukum Diskresi dalam Surat
Keputusan Bersama Tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Skripsi. Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jetty Erna Hilda Mokat. 2019. Kepemimpinan, Pengambilan Keputusan
dan Diskresi. Jurnal Administro. Vol. 1 No. 1 Tahun 2019 IAN FIS UNIMA.
Lutfil Ansori. 2015. Diskresi Dan Pertanggungjawaban Pemerintah
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Yuridis. Vol. 2 No. 1, 01 Juni
2015.
M. Ikbar Andi Endang. 2018. Diskresi Dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum Peratun. Vol. 1 No. 2 Agustus 2018.
|
Comments
Post a Comment