Maraknya korupsi di lingkungan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta memperlihatkan betapa korupsi tak memandang status sosial-akademik, demikian juga bentuk instansinya. Selama kekuasaan diperoleh dengan cara yang tidak transparan dan akuntabel, kekuasaan berpotensi dijalankan secara sewenang-wenang (Van, dkk. 2022). Korupsi di sektor pendidikan termasuk di Perguruan Tinggi tidak hanya berdampak pada hilangnya uang negara. Lebih dari itu, korupsi juga berdampak pada akses, kualitas dan keadilan pendidikan. Korupsi dapat berpotensi mengurangi akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan secara layak, menurunkan kualitas dan pelayanan pendidikan, serta menyebabkan ketidakadilan.
Korupsi di sektor pendidikan memiliki daya rusak
yang meliputi, pendidik akan kehilangan dasar legitimasi. Karena, ketika
melakukan korupsi, value-nya sebagai pendidik juga hilang, menyebabkan
kepercayaan terhadap lembaga pendidikan dan pimpinan lembaga pendidikan menjadi pudar dan sebagai sektor pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran akan kehilangan
dasar legalitasnya. Sejalan dengan hal itu, terdapat dua jenis konsekuensi dari
korupsi di sektor pendidikan. Pertama, membuang sumber keuangan, di mana hal
ini serupa dengan konsekuensi korupsi di sektor lainnya. Kedua, korupsi
menyebabkan seorang tidak dapat mengenyam pendidikan atau menghambat akses
karena korupsi pada penerimaan mahasiswa dan korupsi terjadi sejalan dengan fungsi
yang dijalankan oleh Perguruan Tinggi.
Bahkan institusi
pendidikan yang melakukan suap untuk mendapatkan akreditasi dapat menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan dan tingkat profesional yang dapat membahayakan
publik. Dari beberapa pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa korupsi di
sektor pendidikan, termasuk di perguruan tinggi, tidak hanya merugikan keuangan
negara. Lebih jauh dari itu, korupsi di sektor pendidikan merusak kredibilitas
penyelenggara pendidikan, menghambat akses, menurunkan kualitas, serta
mencoreng nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung dan dijalankan oleh
Perguruan Tinggi, seperti keadilan, transparansi, dan akuntabilitas (Surbakti, 2021).
Memang tidak mudah memberantas sifat koruptif, namun bukan berarti mustahil dan tidak bisa. Memang sangat luas menerjemahkan makna korupsi bahkan tidak akan ada habisnya. Terjadinya tindakan korupsi bisa bermula dari sikap pembenaran diri. Sikap dan perbuatan koruptif di kalangan pemangku jabatan level atas bisa lahir dari sikap misalnya adanya penggunaan fasilitas jabatan yang dipunyai untuk kepentingan pribadi, atau dengan sengaja memperkaya diri dan berfoya-foya, sedangkan perbuatan korup yang terjadi di kalangan menengah ke bawah adalah kebiasaan mengurangi takaran atau timbangan, menerima fee sebagai tanda terimakasih, dan sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan yang terkesan sepele itulah, kemudian menjalar dan menyebabkan korupsi mendarah daging. Tidak ada cara lain untuk memberantas korupsi kalau tidak sadar diri akan bahaya dan dampak laten akibat korupsi.
Comments
Post a Comment